June 1, 2018

The Best Plan (Part 2)




Kehendak Nya menjadi tumpukan PR teratas yang harus dihadapi. Akhir dari paragraf ini memiliki lanjutan cerita syukur  yang hendak saya tuliskan. Episode HP hilang sudah kami ikhlaskan, sekalipun kemampuan teknologi memudahkan suami saya tahu dengan update dimana posisi HP dan pencurinya, ia tak sedikit pun melangkah meminta kembali HP nya. Dia menyampaikan pemikirannya pada saya; Asalkan HP itu bermanfaat untuk kebaikan maka di perolehlah pahala untuk kami yang mengikhlaskan, jika HP itu di gunakan untuk keburukan maka Allah yang akan memberi balasan. Demikian rapi ketetapan Allah, “kenapa harus dipikirkan?” jelasnya dengan nada yang lembut.

Nampaknya saya tidak bisa mengganggu gugat dengan segala pengalamannya yang membuat ia berpikir demikian mengenai “kehilangan benda” karena memang ini bukan kali pertama nya suami kehilangan benda dengan harga yang kami harus menabung cukup lama untuk membelinya. Dengan ikhlas pula saya membelikan HP untuk suami dengan uang tabungan yang saya miliki, uang ini adalah uang yang selalu saya sisihkan setiap bulan dan rencananya untuk membeli mesin jahit. Tidak ada rasa gelo sedikit pun, alat komunikasi agaknya menjadi terpenting untuk saat ini dari pada mesin jahit.

Esok hari nya kami berkunjung ke rumah sewa yang rencana akan menjadi tempat tinggal kami untuk mengambil kunci rumah, namun pemiliknya ternyata belum juga kembali dari luar kota. Padahal kami sudah sangat berharap untuk silaturahmi dan memindahkan barang-barang tambahan milik Mahira. Singkat cerita kami habiskan beberapa hari di Ibu kota dan kami pulang ke Pemalang bersama.

Binar bahagia Ayah Mahira tak bisa di sembunyikan, di rumah Pemalang sering kali bercerita agenda-agenda apa saja yang akan ia lakukan bersama Mahira saat di Jakarta. Saya hanya mendengarkan dengan amin dalam hati, dengan pemikiran sebentar lagi itu akan terjadi. Dengan sedapnya manusia berencana, namun Allah lah yang memberi keputusan bahkan revisi atas rencana kita. Setelah kabar pemilik rumah sewa kembali dan kunci sudah di tangan suami, suami hendak memindahkan barang-barang pada hari Jumat. Entah mengapa jumat? Ternyata saat itu ada quick respon bencana yang membuat Suami saya begitu sibuknya mengurus kepentingan negara. MasyaAllah... hingga harus memilih hari Jumat waktu yang mungkin baru sempat.

Saat Jumat tiba dan suami hendak chek ke rumah, MasyaAllah... jalan di depan rumah masih dalam proses cor. Tentu suami saya cancel memindahkan barang-barang. Bahkan motor saja sulit lewat apalagi kendaraan roda empat. Proses keringnya tentu lama, belum lagi di hotmix. Rasanya Ramadhan pertama kami tidak bisa bersama dan tentu sudah nanggung kalau harus pindahan menjelang Idul Fitri. Maka kami buat keputusan untuk pindahan saat semua kondisi sudah memungkinkan.

Di saat mungkin hati suami saya bersedih karena tertunda nya kami bersama, Allah antarkan padanya sederet pekerjaan. Menyelesaikan data Mangrove seIndonesia dan proyek bersama salah satu BUMN untuk menerangi Papua Barat dan Maluku. MasyaAllah...
Di iringi lagi tiga hari menjelang puasa adik yang sangat saya sayangi jatuh sakit dan berlanjut opname di RS. Kebetulan Adik perempuan saya  sedang UAS dan mama sangat membutuhkan bantuan saya.
Kami diantarkan pada kesibukan masing-masing yang menjadikan kami tidak berlarut dengan kecewa, mengambil hikmah dari setiap peristiwa dan justru membuat api semangat menebar karena dapat memberi manfaat.

Saya tidak bisa bayangkan, betapa lebih kecewanya saya tidak bisa membantu mama mengurus adik-adik jika saat itu sudah pindah ke Jakarta.
Saya tidak bisa bayangkan, betapa repotnya saya di awal Ramadhan karena suami sedang sibuk-sibuknya pekerjaan.

Maka dari itu saya sangat bersyukur
HP suami saya hilang,
Ibu pemilik rumah pergi begitu lama,
Jalan depan rumah yang mendadak di cor,
Dan segala rencanaNya yang selalu di kemas cantik untuk saya. MasyaAllah...

Kalaupun harus bersedih karena belum bisa bersama itu tidak sepadan dengan menjadi sebaik-baiknya manusia yang bermanfaat bagi sesama. Membantu proses supplay listrik ke pelosok papua dan membantu orang sakit serta orang tua yang sedang kerepotan. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama? MasyaAllah... Semoga Allah limpahkan rahmat dan ridho untuk kami atas keikhlasan yang kami upayakan sebaik mungkin.

Terkadang banyak saat dimana suatu keadaan tidak berjalan sesuai dengan rencana, namun jangan terburu berburuk sangka. Kita harus pandai menyikapi segala bentuk PR dari Nya. Seberat bahkan sepahit apapun itu tetap menjadi ladang amal sholih bagi kita. Jangan pernah izinkan hati dan pikiran sembarangan saja dalam menerima kehendakNya, itu hanya akan menjadi celah bagi syaitan untuk membuat kita mudah kecewa, sedih dan juga seperti merasa paling lelah di dunia. Kebahagiaan yang Allah hadirkan selalu datang beserta antonimnya begitu pula kesulitan datang berserta antonimnya, yess.. The Best Plan.

Ada pula yang ketika hidupnya penuh rintangan justru ia semakin gembira. Gembira sebab Allah sedang menaikkan derajatnmya. Ada pula yang justru ia semakin khawatir. Khawatir dirinya memang tak dimampukan untuk menghadapi ujian. – Muhammad Ghiyats-


Diikutkan dalam May's Challenge: Gratitude Journal Rumbel Literasi Media Ibu Profesional Semarang.



Lanjut Baca yuk.. >>>

The Best Plan (Part 1)






Mahira sudah bertumbuh cepat, di usianya ke tiga belas bulan ia mulai melangkah. Adaptasi yang saya rasakan semakin penuh perjuangan ekstra. Mengikuti kemana langkah kakinya pergi dan menjadi kesibukan tersendiri bagi saya. Sejak penyesuaian itu menemui ritme yang pas, Ayah Mahira mengajak kami pindah ke Ibu Kota. Menyandang status Ayah LDR dengan membacakan kisah sebelum tidur by Video Call adalah kesedihan yang tak tertumpahkan. Saya sadar betul, figur ayah menjadi sangat minin untuk Mahira dapatkan. Bahkan Ayahnya sendiri tak bisa sewaktu-waktu  memeluk, mengecup anaknya berulang kali. Ahhh.. sedih rasanya. Saya juga punya peran ganda dan mendominasi dalam mendidik Mahira, bagian suami terabrasi oleh jarak dan waktu. Itu semua hendak kami usaikan tahun ini. InshaAllah...

Suami saya mencari rumah sewa dan diantara puluhan rumah, kami sudah menemukan yang sesuai dengan kriteria kami. Alhamdulillah... Ini adalah hal luar biasa yang kami syukuri, mengingat betapa sulitnya menemukan rumah yang sesuai dengan kebutuhan dan budget kami di Jakarta. Menjelang Ramadhan kami akan berpindah dan menyambut Ramadhan bersama dalam atap yang kita anggap seperti rumah sendiri. Sankin bahagianya saya ungkapkan hal ini ke teman-teman, semoga doa mereka kerinduan mereka terkemas baik untuk saya walaupun kami berjauhan. Tapi saat saya berkunjung ke Jakarta untuk mengechek calon tempat tinggal kami, kehendak Nya menjadi tumpukan PR teratas yang harus dihadapi.

“ Sayang, aku sudah sampai” demikian saya chat suami.

Beberapa kali dialing juga belum di respon. Mungkin sedang di jalan. Saya berusaha positif thinking. Setelah turun dari kereta, saya menepi ke tempat duduk terdekat dan menyuapi Mahira yang ingin makan. Saya fokus untuk membuatnya dalam mood yang baik, sembari menunggu suami saya menghubungi. Selang beberapa menit, baru saja saya buka kotak makanan Mahira. Suami saya mengucap salam.

“ Assalamu”alaikum...” Ucapnya sambil tersenyum seolah tidak ada apa-apa.

“ Wa’alaikum salam. Sayang kapan tiba? Kok tahu kami menunggu di sini.” Tanya saya penasaran.

“Iya tentu lah.. Ibu dan Mahira kan bidadari, wajahnya begitu bersinar di tengah keramaian” Celetuknya membuat saya sedikit melted.

Mata Mahira menscaner Ayahnya, setelah cocok dengan memori maka ia merespon dengan gelagat ingin gendong tapi malu. Ayah mengeluarkan mainan yang ia sempatkan beli di toko mainan sebelum menjemput kami. Bonding time berlangsung cepat, Mahira makan dengan lahap dan kami bersiap menuju hotel.

Kami menggunakan KRL menuju Manggarai, gerbong cukup luang. Mahira sangat happy dengan mainan baru nya tapi ia lebih happy bisa menaiki kereta listrik dengan lorong gerbong yang kosong, begitu pula ibunya. Haha... Kami bertiga pun bisa duduk dengan leluasa, saat suami saya membisikkan pelan kalimat “Sayang...HP aku sebenarnya hilang” Ucapnya dengan nada lirih. Saat itu pula HP saya lagi-lagi bergetar karena mendapat telpon dari Bapak mertua. Sesaat terdistrek, saya masih ingin mendengarkan suami saya bercerita tapi saya juga harus mengangkat telponnya. Antara bingung dan kaget, suami saya memberi aba-aba untuk mengangkat telpon dari Bapak terlebih dulu. Dengan persetujuannya baru saya berani mengangkat telponnya sambil perlahan memanajemen perasaan dan pikiran agar sinkron.

Setelah mengangkat telpon, ia melanjutkan ceritanya. Betapa miris kejadiannya dan membuat saya gregetan dengan sikap pencopet tersebut. Sebanyak apa yang hilang? Seharga HP yang Ayah Mahira tabung cukup lama, sebanyak memori demi memori mengenai Mahira yang terus saya kumandangkan via WA.

“Sayang.. Apa kamu kecewa?” mungkin ini pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak perlu saya ajukan tapi tetap saya ajukan.

Suami saya menatap saya dalam, berlanjut menatap Mahira. Pria yang menjadi imam saya ini memang jarang bicara tapi sekalinya bicara sering kali menggetarkan.

“ Tidak sebanding dengan apa yang Allah berikan ke aku... memiliki kamu dan Mahira” jawabnya dengan menyentuhkan tangan kanannya ke saya dan ke Mahira.

MasyaAllah... dan saya pun bersyukur sangat dalam, ia hadir menjemput kami dengan kondisi yang sehat wal afiat dan kami berkumpul bersama dengan hati yang bahagia. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.   

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 152)

Diikutkan dalam May's Challenge: Gratitude Journal Rumbel Literasi Media Ibu Profesional Semarang.




Lanjut Baca yuk.. >>>