September 30, 2018

TERBUNGKUS CANDALA




       Pagi ini kelurahan Mangunjati begitu mendung, langit penuh dengan awan jenuh yang siap tumpah kapan saja Tuhan berkehendak. Aku mengurungkan kegiatan mencuci dan  memilih untuk membaca buku hadiah dari sabahatku yang berjudul “Open your heart follow your prophet” buku bersampul kuning itu membuat retinaku cukup cepat menemukannya diantara tumpukan buku lain.

Buku dengan pesan mendalam namun ditulis dengan bahasa yang ringan. Pesan-pesan Rasulullah yang terkemas dalam ramuan aksara karya bang Arif Rahman, begitu asik dibaca. Baru mengahabiskan beberapa halaman, seketika fokusku buyar. Telingaku diperdengarkan dengan tangis Sari. Sari adalah anak tetanggaku yang berusia 11 tahun, rumah kami berhadapan. Jarak menuju rumahnya hanya dipisahkan oleh jalan kecil yang hanya muat untuk satu motor saja. Jadi tidak salah jika tangisan itu terdengar jelas hingga ke rumahku.

Seperti biasa tangisnya memecah pagi yang ingin aku nikmati dengan damai sebelum aku mendapat panggilan kerja. Aku harus bertahan dengan suguhan tangisan Sari yang cukup menghebohkan tetangga sekitar. Saat aku mudik, biasanya hanya sebentar, tidak ada waktu untuk mengetahui banyak mengenai tetangga baruku itu. Setelah aku lulus kuliah dan cukup lama berada di rumah, lambat laun aku jadi tahu.

Aku menutup buku dan menghentikan kegiatan membacaku. Berjalan ke arah dapur, mendapati Ibuku sedang mengiris tempe untuk persiapan sarapan kami. Suara tangis Sari tidak begitu terdengar jika dari dapur.

“Bu, rumah kontrakan pak Udin sudah ganti orang lagi ya?” Tanyaku pada Ibu yang masih sibuk mengiris tempe.

“Iya, belum lama. Sejak kamu mulai kuliah magang itu loh Nan.” Jawab Ibu dengan santai.

“Emang kenapa bu? Sampai nangisnya kenceng banget?” Tanyaku penasaran

“Ya..kamu lihat aja sendiri.” Jawab Ibuku masih dengan santai.

Ibunya kerap memarahinya, memakinya secara verbal dibalik dinding yang mereka sebut rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman Sari namun rumah itupula yang membuat Sari sering rebas dengan air mata.

Perlahan Aku berjalan ke arah jendela ruang tamu untuk melihat keadaan depan rumahku. Sari terlihat dipukul oleh Ibunya, suara agak gaduh terdengar dengan baik sampai ke telingaku. Aku mengernyitkan alis, menghela nafasku dengan keinginan memukul balik sang Ibu. Agar ia juga tahu, bahwa itu sangat sakit.

Dalam hati aku bergumam, apa kesalahan Sari hingga membuat Ibunya mengomel dengan suara yang keras disertai pukulan yang tentu sangat sakit untuk anak seusianya. Ibunya keluar dari pintu yang memang sudah terbuka cukup lebar. Dipakainya jas hujan bewarna biru, masker biru dan helmet bewarna biru yang serasi. Sepertinya ia akan melakukan perjalanan dengan motornya.

Braaaaakkkkk!!!! Dari dalam Sari membanting pintu.

“Sariiiiiiiiiiiiii ….” Disusul suara Ibunya melengking dari luar.

Pemandangan yang sebetulnya tidak ingin aku tahu, namun keinginanku begitu besar melihat Sari kerap sekali berjalan di depan rumah. Bolak-balik hampir tiga jam, hanya untuk sekadar melakukan gerakan-gerakan aneh menurut imajinasinya. Terkadang berhenti di depan selokan rumahku dan melakukan gerakan seperti menjemur pakaian. Terkadang ia berdendang atau berbicara sendiri. Saat anak-anak lain lewat ia segera lari dan masuk ke dalam rumahnya.

Aku jarang melihatnya berangkat sekolah. Namun sekitar jam satu siang, aku sering melihat kakeknya dengan menggunakan motor matic bewarna merah mengantarnya yang masih berseragam hingga depan rumah. Kemudian sekitar pukul dua kakeknya datang.

“Sari … makan dulu. Sari… buka pintunya.” Ucap kakeknya seraya mengetuk pintu rumahnya dari luar.

Bulan lalu saat aku baru saja selesai wisuda, Ibu memasak makanan dan membagikannya untuk tetangga. Sebagai wujud syukur Ibu ingin berbagi, aku beranikan langkah untuk ke rumah Sari. Mumpung ia masih di depan dan sedang kambuh dengan kegiatannya yang tidak jelas itu.

“Heiiii! Ini buat kamu.” Ucapku.

Mata kami bertemu, dia langsung membalikkan arah dan menuju rumah.

“Tunggu! Berhenti. Siapa nama kamu? Kita kenalan dulu.” Aku menimpalinya dengan banyak tanya.

Dia menghentikan langkahnya, menatapku dengan wajah sendu, begitu sopan.

“Nama saya Catherine. Ia menyebutkan huruf apa saja untuk namanya” Jawabnya dengan begitu meyakinkan.

“Oh Katrin?” jelasku.

“Ya boleh, dipanggil itu aja” Jawabnya lagi.

“Kamu suka kucing? Siapa namanya?”

“Kucing aku namanya Cimol.” Jawabnya dengan pandangan mata yang sudah berbeda.

“Aku boleh kasih ikan?” tanyaku lagi

“Dia makannya Whiskas” Jawab Sari

“Ini makanan buat kamu dari Ibuku” Timpalku lagi.

“Terimakasih”

Selang beberapa hari setelah itu, Ibuku sempat ditegur oleh Ibunya. Ia berujar jika ia dapat memberi makan anaknya dengan baik. Tidak perlu berbelas kasih dengan memberikan makanan kepada Sari. Ibuku coba menjelaskan namun Ibunya Sari tetap tersinggung atas sikap kami. Dalam hati kami hanya banyak beristigfar.

Hujan turun begitu lebat, aku hampir tidak bisa mendengar apapun. Sari mungkin tertidur nyenyak di rumahnya. Namun aku memikirkannya.

“Bu..kenapa Sari mengaku namanya Catherine ya?” Tanyaku pada Ibu yang sedang menulis pengeluaran hari ini di buku belanjanya yang bersampul batik.

“Nggak tahu juga, mungkin nama panjangnya Sarina Katrin” Ibu menimpalinya dengan candaan.

Aku sedikit terkekeh, namun jika benar itu namanya. Akan menjadi sangat rancu untuk di dengar. Serancu dirinya yang kerap melakukan gerakan-gerakan aneh. Pikirku.

Tepat jam sepuluh malam, Ibunya baru pulang kerja. Motornya selalu terparkir dengan rapi. Helmet dan sepatu juga diletakkan sesuai tempatnya. Saat tiba yang pertama disapanya adalah Cimol. Selalu khas dengan intonasi yang aku hafal. Keluarganya memang tidak begitu dekat dengan tetangga lain. Mungkin karena aktivitasnya terlalu tinggi dan ia sibuk berkerja, sehingga tidak ada waktu lagi untuk sekedar berkumpul jika ada acara arisan dll.

Namun aku masih dalam pertanyaan besar, kenapa Sari mengaku Catherine dan kenapa Ibunya kerap memarahi dan memukulnya?
***
Sebelum aku dilamar orang, aku mau melamar pekerjaan dulu dibeberapa perusahaan yang membuka loker sesuai keilmuanku. Untuk mengisi waktu, aku diminta Ibu-ibu sekitar mengajar les anak-anaknya, hari ini adalah hari kedua aku mengajar. Beberapa siswaku banyak yang satu sekolah dengan Sari. Ada Rania, ada Didit, Raka dan juga Fajar. Dari situ aku mendapat banyak info mengenai Sari. Sari tidak punya teman, ia kerap dibully di sekolah.

“Habisnya dia aneh sih.” Celetuk Rania

“Dia itu kadang ngomong sendiri.” Celetuk Raka.

“Apaan dia juga jarang banget masuk sekolah. Nggak pernah ikut kelas tambahan juga” Kata Didit.

“ Kata Mamaku, aku nggak boleh temenan sama Sari dan aku juga nggak mau sih” Timpal rania lagi.

“Nama Panjang Sari siapa, Ran?” Tanyaku pada Rania yang merupakan teman sekelasnya.

“Cantika Sari, tapi dia cuma mau di panggil Catherine. Karena dia nggak suka nama pemberian orang tuanya. Jadi itu nama bebikinan dia gitu deh kaa” Jelas Rania.

“Sejak kapan Sari begitu?”

“Dulu sih nggak gitu ya Jar? Dia mah asik-asik aja ya diajak main. Tapi sejak sering dimarahin Mamanya. Dia itu jadi aneh kaa. Ya begitu itu suka nggak jelas.” Terang Rania.

Kami melakukan percakapan ini setelah usai belajar, aku berusaha mengumpulkan informasi.

“Mamanya kenapa?”

“Mamanya galak banget, asli kaa bikin serem.” Jelas Fajar.

“Aku juga takut sama Mamanya, dulu kalau main kita selalu di marahin ya Ran?” Fajar membuka episode baru mengenai Ibunya Sari.

“Galak gimana?” Tanyaku.

“Ya Sari pernah cerita, misal dia numpahin minuman sedikit aja. Nanti diomelin bisa juga sampai dipukul.” Rania kembali memberi informasi.

Aku menelan ludah, jantungku berdegup agak lebih cepat. Iyakah benar yang diungkapkan mereka atau aku hanya larut dalam cerita-cerita fiktif yang mereka buat untukku? Ingin sekali aku tanyakan langsung pada Sari. Namun melihat sikap Ibunya yang kala itu sangat acuh ketika aku sapa, aku berulang kali membatalkan inginku. Takut semuanya terasa lebih runyam untuk Sari.
***
Hari itu Cimol melahirkan, ia melahirkan di rak sepatu depan teras rumahku. Sari mencari-cari Cimol, kucingnya yang bewarna telon itu.

“Di sini!” Teriakku.

“Halooo Catherine…” Sapaku dengan ringan.

“Maaf ya.. Cimol rese, suka nggak sopan.” Celetuknya dengan suara yang parau khas orang bangun tidur.

“Nggak apa-apa, namanya juga kucing kan dia nggak tahu sopan” Jawabku masih santai.

“Catherine itu nama pena yang kamu bikin ya?”

“Iya, aku mau ganti nama itu aja nanti kalau sudah besar” Jawabnya sambil mengelus kucingnya.

Celananya terkena darah kucing, ia seketika panik.

“Duuuh! Gimana ini ya?” Wajahnya begitu panik.

“Kenapa emangnya?”

“Mama saya agak galak, takut nanti ditanyain kalau nggak bisa hilang.” Ucapnya kemudian.

“Biar aku bantu! Kamu tunggu sini.” Perintahku.

Aku mencoba menggunakan waktu ini untuk bertanya banyak kepada Sari, dari segala hal yang ia jawab ada kalanya ia menjawab dengan rasional dan adakalanya ia menjawab dengan jawaban yang tidak masuk akal. Imajinasinya berjalan ditengah pertanyaan jelas yang aku ajukan kepadanya. Mungkin ia begitu tertekan dengan sikap Mamanya sehingga ia demikian anehnya.

Hanya doa-doa yang bisa aku panjatkan ditengah drama yang tersaji disetiap pagi. Aku berharap, Ibunya dapat segera menyadari beberapa sikapnya yang salah dan memberikan sikap yang layak untuk Sari dapatkan. Di sisi lain aku belajar, bagaimana kelak jika amanah itu dititipkan padaku. Aku bersyukur atas cara Tuhan memberiku materi belajar sebelum kelak aku dilamar.

 “Mencintai anak tidaklah cukup, yang terpenting adalah anak-anak menyadari bahwa mereka dicintai orangtuanya.” – St. John Bosco



#TantanganODOP3
#onedayonepost
#fiksi
#odopbatch6




Lanjut Baca yuk.. >>>

September 29, 2018

About Spoon




#Ibu Mahira berkisah mengenai: Sendok
#Hari 6

Sebelum sendok diciptakan, orang terdahulu makan menggunakan tangan telanjang.  Ibu sangat suka makan menggunakan tangan nak, karena rasanya begitu sedap disamping itu penelitian mengatakan jika makan menggunakan tangan itu jauh lebih sehat. Tubuh kita secara alami memiliki bakteri yang berada di tempat-tempat seperti tangan, mulut, tenggorokan, dan usus. Bakteri alami ini memiliki fungsi yang baik yakni melindungi diri dari masuknya virus jahat.

Nah.. makan menggunakan tangan, membuat bakteri baik akan masuk ke dalam sistem pencernaan dan merangsang sistem tubuh kita untuk bekerja lebih optimal. Walaupun demikian, kita harus tetap cuci tangan sebelum dan sesudah makan ya Mahira.

“Ci ya buk?” Mahira mencoba mempraktekkan cuci tangan.

Pernah waktu itu, Ibu makan nasi goreng di sebuah resto. Namun Ibu makan menggunakan tangan. Hampir semua mata memandang, tapi Ibu dengan sedapnya tetap makan saja dengan menggunakan tangan kanan. Mungkin refleks karena terbiasa makan dengan tangan kanan, seperti yang Rasulullah lakukan.

 “Jika salah seorang dari kalian akan makan, hendaknya makan dengan tangan kanan. Dan apabila ingin minum, hendaknya minum dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya”
[HR. Muslim]

Ibu juga pernah makan menggunakan daun pisang loh Mahira, jadi dulu waktu Ibu masih kecil pernah diajak Mbah Uyut Kakung ke sawah, Mbah mengajari Ibu membuat sendok dari daun. Caranya kita ambil sebagian daun pisang bungkus makanan, kira-kira panjangnya 10 cm dan lebarnya hanya 2 cm. Kemudian dilipat jadi dua dan Ibu dapat gunakan seperti fungsi sendok. MasyaAllah…

Ibu pernah membaca sebuah tulisan mengenai asal mula sendok, sendok pada masa Pra Sejarah dibuat menggunakan benda alami seperti cangkang kerang laut atau batu yang mudah dibentuk. Sendok alami ini belum punya pegangan seperti sendok modern sekarang. Seiring berjalannya waktu, masyarakat prasejarah mulai memodifikasinya dan memberi pegangan.

Dahulu sendok diperuntukan untuk ritual keagamaan di Mesir kuno sekitar tahun 1.000 Sebelum Masehi (SM). Kemudian sendok berkembang fungsinya sebagai alat makan, sendok mulai muncul dari bahan dasar kayu, karena kayu pada masa itu mudah ditemukan.

“Coba Mahira ikuti Ibu bilang, sendok.”

“Spoon!” Ucapku lagi karena saat mengucap sendok, Mahira cukup kesulitan.

“Pun!” Timpalnya.

Istilah sendok atau "spoon" dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Yunani "koklea". Istilah ini memiliki arti siput, yang berarti sendok pada kekaisaran Yunani dan Romawi masih menggunakan cangkang siput. Namun seiring berjalannya waktu, bahan sendok juga mengalami perkembangan. Banyak sendok terbuat dari perunggu atau perak. Nah.. ternyata bahan tersebut digunakan sebagai penanda kasta nak, Masyaallah.

Ada bukti tertulis yang ditemukan para arkeolog merujuk pada sendok modern pertama kali itu dibuat di Inggris sekitar tahun 1259Pada zaman Victoria di Inggris ada revolusi industri, para orang yang berada di kelas menengah mengalami peningkatan pendapatan. Saat itulah orang-orang membelanjakan uangnya untuk sendok.

Ketika fenomena ini menjadi trend, pihak industri mulai mengenalkan sendok lebih beragam. Mulai dari sendok makan, sendok teh, dan sendok saji. Selanjutnya, sendok terus berkembang dan punya kegunaan utama sebagai alat makan.

Sekarang macam-macam ya nak, ada sendok big, small yang biasa Ibu pakai untuk aduk teh. Tapi harus segera kita cuci, supaya tidak ada apa nak?

“Amuuut!” Jawabnya dengan begitu semangat.
(Semut) Masyaallah Tabarakallah.


“Sendok adalah bagian dari teknologi yang telah mengubah cara kita mengonsumsi makanan.” (Bee Wilson)

#Day06
#BundaBerkisah
#Pejuang Literasi
#onedayonepost
#ODOP_6



Lanjut Baca yuk.. >>>

September 28, 2018

Perkenalkan Mahira, ini namanya Batu!




#Ibu Mahira berkisah mengenai: Batu
#Hari 5

“Kata-kata lembut melunakkan hati yang lebih keras dari batu, kata-kata kasar mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutra.(Abu Hamid Al Ghazali)


"Perkenalkan Mahira, ini namanya batu." Ucap saya sambil memperlihatkan batu yang saya temukan di dekat teras belakang rumah kala itu.

“Atu!” Ia mengikuti mengucap batu yang mirip seperti mengucap satu.

Iapun membolak-balikkan batu dengan wajahnya yang begitu terkesima melihat batu tersebut. Sesekali Ia mengarahkan pandangannya pada saya dan tersenyum dengan senangnya.

Om Ghi dulu mengkoleksi batu loh Mahira, jadi saat Ibu dan Om masih anak-anak, kami bermain di tumpukan pasir yang tinggi. Pasir tersebut ada batu-batu kecil yang warna dan bentuknya unik-unik menurut kami. Om Ghi, dulu senang sekali hingga mengumpulkannya dan mencucinya. Kemudian dimasukkan ke dalam toples kecil. Jadi seperti pajangan cantik dan unik.

Saat dulu belum ada bath puff, orang-orang pada zaman dahulu menggunakan batu dengan ukuran sebesar genggaman tangan sebagai bath puff. Kemudian di gosok-gosokkan ke kulit dengan tujuan menghilangkan daki. Saya seraya mencontohkan dan Mahira memperhatikan. Ibu pernah mencoba menggunakan batu untuk menggosok kulit Ibu saat mandi, tapi begitu sakit dan merah-merah semua.

“Obat ibu! Kit obat!” ucap Mahira bilang jika sakit maka dikasih obat.

Ibu akhirnya tidak menggunakannya lagi, sekarang baik bath puff ataupun batu gosok banyak dijual. Beberapa orang ada yang menggunakan juga ada yang tidak. Jenis batu yang dipakai untuk menggosok kulit saat mandi itu biasanya dengan batu apung. Namun ada juga yang menggunakan batu lain yang permukaannya cocok untuk menggosok kulit.

“Passss…” Ucap Mahira mengikuti saat saya bilang puff.

Manfaat batu lainnya juga banyak Mahira, banyaaaaaak sekali. Mahira begitu memperhatikan saat saya mengucap kata banyak diikuti tangan yang bergerak-gerak. Untuk membangun pondasi rumah, untuk hiasan eksterior bangunan bahkan untuk aksesoris seperti cincin dan bross.

Batu juga bisa untuk kesehatan nak, Ibu pernah penasaran dengan batu Amber. Kalung batu amber dipakaikan ke bayi dan anak itu sempat menjadi trend dikalangan Ibu-ibu. Karena dipercaya dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Tentu Ibu mencari informasi lengkap mengenai ini, ternyata Ibu baru tahu jika batu amber itu adalah hasil dari fosilisasi resin pohon Pinus Succinifera. Ibu jadi membayangkan bagaimana cara mengambilnya ya? Apakah ada  alat khusus? Apa mungkin seperti sendok? 

Begitu banyak jenis batu yang Allah ciptakan untuk bermacam-macam manfaat ya Mahira. "Kita ucapkan apa Mahira? MasyaAllah…" 


#Day05
#BundaBerkisah
#Pejuang Literasi
#onedayonepost
#ODOP_6



Lanjut Baca yuk.. >>>

September 27, 2018

Jangan Marah!




#Ibu Mahira berkisah mengenai: Marah
#Hari 4

Hari ini Ibu ingin berkisah mengenai bermacam-macam emosi manusia. Jika kelak Mahira dengar kata Emosi itu tidak selalu berkaitan dengan marah. Namun bisa juga emosi cinta, benci, takut, malu, dengki, cemburu, gembira, terkejut, sedih.

Saat Ibu penuh dengan emosi cinta, Ibu akan mencintai hal yang membuat Ibu bahagia, aman, dan nyaman. Perasaan cinta ini akan mengikat perasaan manusia dengan orang lain didekatnya seperti keluarga, teman, bahkan negaranya. Ibu ingin Mahira juga memiliki emosi cinta, emosi yang sangat penting dimiliki dalam kehidupan sehari-hari agar hati Ibu selalu terikat dengan cinta kepada Allah, Rasul, Ayah dan juga Mahira.

Saat Ibu diliputi emosi benci, Ibu merasakan emosi berupa kebencian akan merasakan ketidaksukaan kepada hal-hal yang tidak membuat bahagia, mendatangkan kesedihan, atau menyakiti diri. Maka dari itu Ibu tidak ingin hidup Ibu diliputi emosi benci karena itu tidak baik.

Eyang Uti itu berpesan ke Ibu, jika Ibu benci seseorang maka benci saja perilaku buruknya yang merupakan datang dari setan, jangan sampai membenci orangnya. Kelak Ibu akan berpesan sama dengan Mahira.

Ibu juga pernah merasakan emosi marah, ketika sesuatu kehendak  atau harapan Ibu tidak bisa terpenuhi. Saat Ibu kecil, Ibu ingin sekali membeli Jaket warna hijau tosca namun tidak ada size yang cocok dengan Ibu. Kemudian Ibu begitu marah karena apa yang Ibu harapkan tidak ada. Tentunya marah itu tidak baik Mahira, karena dapat membuat kita kehabisan energi dengan berteriak-teriak, hatinya juga tidak tenang dan  membuat kita merasa tertekan.

“Mayah bu?” Ucap Mahira mengikuti saya

Kita harus pandai mengelola emosi kita, baik cinta, benci, marah semua tidak boleh terlalu berlebihan. Ada kisah rakyat yang kelak ingin Ibu kisahkan ke Mahira jika Mahira sudah bisa membaca. Jika kemarahan yang sangat berbahaya adalah kemarahan orangtua atas ulah anaknya. Ada kisah mengenai Malin Kundang, sosok pemuda yang menjadi saudagar kaya raya namun ia tidak mengakui Ibunya. Kemudian Ibunya marah sekali hingga harus bekata buruk kepada anaknya dan Malin Kundang akhirnya menjadi batu. 

Orang yang dapat menahan marah itu luar biasa nak, karena kita akan diberi Allah surga. Jika salah satu dari kita marah, kita saling ingatkan ya nak

“Jangan marah, maka bagimu syurga” (HR.Thabrani)

#Day04
#BundaBerkisah
#Pejuang Literasi
#onedayonepost
#ODOP_6




Lanjut Baca yuk.. >>>

September 26, 2018

Bintang dari Langit Tenganan



#Ibu Mahira berkisah mengenai: Bintang
#Hari 3

Mahira belum tahu apa itu bintang. Ia hanya tahu Sun dan Moon. Saya sangat ingin mengajak Mahira mendongak ke langit malam seperti biasanya. Memandang lepas hingga ia temukan bintang yang paling terang. Namun matanya terus tertuju pada Moon.

Mahira, bintang adalah benda langit yang memancarkan cahayanya sendiri. Bintang itu jumlahnya begitu banyak, hanya Allah yang mampu menghitungnya. Di langit Jakarta bintang tidak terlihat dengan jelas, karena banyak cahaya memancar yang membuat bintang tidak terlihat dengan jelas.

Beda sekali saat dulu Ibu menikmati bintang di Desa Tenganan Bali. Desa yang letaknya masih sekitar 60 Km dari kota Denpasar. Desa Tenganan merupakan salah satu desa yang tergolong dalam Bali Aga, yaitu desa yang masih mempertahankan pola hidup dan tata masyarakatnya pada peraturan tradisonal yang di wariskan dari nebek moyang mereka.

Saat kelak Mahira punya kesempatan ke sana, Mahira akan melihat jika desa tersebut masih tampak sama seperti saat Ibu kunjungi dulu. Baik bentuk bangunannya, pekarangan atau halamannya, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura semua masih sesuai aturan turun temurun yang masih di pertahankan.

Jadi saat Ibu kuliah dulu, Ibu melakukan penelitian mengenai pola rumah adat di sana, karena desa tersebut begitu menarik untuk di teliti. Tidak lama Ibu tinggal di sana karena Bapak kepala desa dan kepala desa adat memperbolehkan Ibu mengcopy awig-awig  yang mana dapat menjadi referensi Ibu untuk menulis. Adaptasi yang cukup sulit, nak terutama terkait makanan. Alhamdulillah signal kala itu tidak menjadi kendala, untuk mandipun sudah ada kamar mandi dan toilet.

Ada hal yang tak terlupa dan ingin Ibu kisahkan pada Mahira. Ibu berinteraksi dengan banyak orang di sana, hingga melakukan perjalanan petualangan dengan teman-teman Ibu. Ibu dan teman-teman menyusuri desa hingga ke bagian Bukit Barat (Bukit Kauh) pada siang hari dan saat itu belum sempat ke daerah Bukit Timur (Bukit Kangin).

Teman Ibu bilang, ayo kita ke Bukit Kangin lihat bintang dari atas bukit! Dan Ibu langsung menolaknya karena Bukit begitu gelap tanpa lampu,

"Ampu Ibu! Itu di atas!" Mahira menunjuk lampu.

iya sayang tidak ada lampu dibukit. Gelap! Sekalipun menurut teman Ibu cahaya bulan dan bintang menyinari jalanan di sana. Ibu berpikir buat apa menuju bukit jika bintang yang indah sudah dapat terlihat jelas dari teras rumah warga.

Bahkan Ibu bisa tiduran di rumput dengan alas tikar, memandang langit yang luas dan berhambur bintang. Saat Ibu melihat bintang, bintang nampak berkedip-kedip, Mahira. Seolah bermain mata, mengajak Ibu berimajinasi lebih dalam.

Mahira, bintang seolah-olah berkedip bukan tanpa sebab. Melainkan karena bumi memiliki banyak atmosfer. Kelak Mahira akan mendapatkan pelajaran ini pada mata pelajaran Geografi. Jadi banyaknya lapisan udara dengan temperatur yang berbeda-beda di atmosfer, menyebabkan lapisan udara tersebut bergerak-gerak hingga menimbulkan turbulensi. Sehingga cahaya bintang yang melewati atmosfer, dibelokkan oleh lapisan udara yang bergerak-gerak. Akibatnya posisi bintang berubah dank arena sulit dideteksi mata maka akan terlihat seperti bintang tersebut berkedip-kedip.

Ada percobaan mudah yang ingin Ibu praktekkan ke Mahira, kelak kita akan menggunakan koin yang akan kita masukkan dalam air sebagai alat peraganya ya?

Mahira masih saja membatu, tidak bergeming sedikitpun. Entah apa yang ada dipikirannya, seolah ia memahami dengan mendengarkan secara khidmat. Masyaallah Tabarakallah.


#Day03
#BundaBerkisah
#Pejuang Literasi
#onedayonepost
#ODOP_6


Lanjut Baca yuk.. >>>

September 25, 2018

Mahira, ayo berdoa!




#Ibu Mahira berkisah mengenai: Hujan
#Hari 2

Mahira! Lihatlah! Apa yang Ibu dapat dari Ayah. Video mengenai proses turunnya hujan. Masyaallah..

“Ujan buk! Ujan buk! Itu Ujan!” Mahira dengan senang menunjuk layar gawai saya kemudian berlari ke arah jendela depan.

“No Ujan bu! Itu ujan, ini no ujan.” Dia coba mengechek keluar jika ternyata di luar sedang tidak hujan.

Beberapa kali hujan turun mengguyur Kalisari, kami selalu menikmatinya bersama. Biasanya kami berdua singgah di antara latai ruang depan dan teras. Duduk memandang hujan di celah tirai bamboo yang warnanya mulai memudar.

“Mahira, ayo berdoa.” Ucap saya mengajak Mahira berdoa.

Dengan cepat Mahira mengangkat tangannya, turut berdoa dengan khusyuk.

Allahumma shoyyiban naafi’aa
(Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat)

“Aminnn.” Mahira mengakhiri doa ketika saya sudah selesai mengatakan naafi’aa.

Kemudian saya menyampaikan hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,


Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan. (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078).

Mahira, lanjut lagi yuk berdoanya. Ia begitu takzim merespon instruksi dari saya sesekali kerling matanya mengarah ke mulu saya yang sedang berdoa begitu panjangnya. Mahira mengangakat tangannya hingga saya selesai mengucap Amin. Saat selesai Mahira tersenyum dan kembali meneriakkan ujan buk! Ujan!.

Sesaat ingatan saya kembali pada video yang suami saya kirim, saya ingin berkisah mengenai bagaimana hujan turun ke bumi. Mahira, saat Mr. Sun menyinari bumi dengan sinarnya yang begitu panas.

“Nanas.” Mahira mengatakan panas.

Iya.. Panas saying bukan nanas. Nah.. energi dari Mr. Sun ini menyebabkan proses alam yang namanya penguapan atau evaporasi. Evaporasi itu proses perubahan molekul di dalam keadaan cair, contohnya air dengan spontan menjadi gas menjadi uap. Evaporasi berlangsung di lautan, sungai, danau dan sumber air lainnya bahkan dari tubuh kita, hewan dan juga tumbuhan.

Dari Proses itu maka dihasilkan uap-uap air. Karena masa jenis uap lebih ringan dari masa jenis udara disekitarnya maka uap-uap air itu akan naik pada ketinggian tertentu dan terjadilah proses kondensasi.

“Sasi buk!” Mahira mencoba menirukan saat saya mengatakan kondensasi.

Kondensasi itu pengembunan, yaitu pemadatan uap menjadi butiran embun. Kemudian butiran-butiran embun tersebut semakin banyak berkumpul memadat dan menjadi awan-awan kecil.

“Coba Mahira bilang Awaaaan.” Tutur saya mencontohkan.

“Awan” Mahira mengikuti dan masih menyimak saat saya berkisah.

Kemudian awan-awan kecil ini bergerak oleh angin kearah udara yang tekanannya lebih rendah. Semakin banyak awan-awan kecil yang berkumpul maka ia berubah warna menjadi semakin kelabu. Semakin berat karena awan jenuh dan terjadilah hujan.

“Ujan Ibuk! Ujan!” Mahira kembali berteriak hujan.

Iya sayang, Perkenalkan Mahira... Ini proses terjadinya hujan!

Saat hujan Mahira jangan lupa berdoa ya? Doakan selalu Ayah dan Ibu dalam segala waktu terutama waktu-waktu yang di ijabah. Sekarang Mahira nyanyi yuk sama Ibu.

Allah makes the rain fall…
From clouds up in the sky…

“No buk! Ujan!” Mahira ingin sekali melihat hujan lagi.

“Rain itu hujan.” Jelas saya.

“Tuh di atas! Mung.” Dia bilang itu di atas ada Moon.

Saat saya mendongak, mengintip langit dari jendela. Nampak bulan yang begitu indah, di hiasi bintang malam langit Kalisari pada malam hari yang begitu cerah. Masyaallah.

#Day02
#BundaBerkisah
#PejuangLiterasi
#onedayoneposting
#ODOP_6











Lanjut Baca yuk.. >>>