DAY08 -TantanganGameLevel1
*Komunikasi dengan
Pasangan dan Anak*
Hari
ini sesuai judul postingan, rasanya serba dingin padahal cuaca Jakarta sedang
begitu panasnya. Baiklah saya akan hadapi panas dingin ini dengan kekuatan yang
ada. Bismillah…
Menjelang
subuh pagi tadi Suami saya sudah berangkat ke Masjid dan saya masih dalam direct breastfeeding position lying down. Semalaman
dalam posisi yang sama hingga pagi tiba, demi menghindari jerit malam tantrum
Mahira yang tentunya akan mengganggu tidur Ayahnya.
Ibu
menyusui dengan Direct pasti paham, bagaimana bedanya pegal punggung karena
mencuci dan menyusui? Jika saya bangun, jerit tantrum merusak kedamaian pagi.
Jika terus lying down saya harus melewatkan sholat subuh ontime.
“Sayang..berangkat
dulu saja, nanti aku nyusul ya?” ucap saya pagi tadi.
“Jangan
paksa Mahira missal nggak mau ya?” Pesannya saat ia akan berlalu.
Mahirapun
terkadang mau ke Masjid dan terkadang tidak mau. Saya memang tidak paksakan,
namun sebisa mungkin saya usahakan. Saya coba bangunkan Mahira supaya ia juga
menghentikan kegiatan menyusunya yang sudah terlalu lama. Namun yang terjadi
dia malah tantrum. Mahira menangis dan menjerit-jerit hingga Ayah tiba dirumah
saya belum bisa mengendalikannya.
Disamping
saya masih merasakan punggung yang aduhai sakit, saya memang sengaja membiarkan
ia menangis. Karena sudah dalam usaha memeluk, bicara dengan ramah, memberikan
pilihan, menolongnya agar nyaman, bahkan memberinya ASI lagi, ia tetap menangis
sejadi-jadinya hingga hampir saja saya mennagis.
Tarik
nafas, minum air putih, istigfar, hingga saya mengusap tubihnya yang dingin
dengan doa perlindungan, saya juga membacakan surah dan doa-doa untuk meminta
pertolongan Allah. Mengusahakan kondisi saya tetap good mood untuk menghadapi
Mahira yang tantrum. Di saat seperti itu, suami saya justru menyalahkan saya.
“Kami
ini jangan paksa Mahira bangun ke Masjid! Aku kan sudah bilang.” Ia begitu
marah.
“Aku
nggak paksa mas, memang aku bangunkan karena aku kan juga harus sholat.” Jawab
saya kala itu.
“Kamu
bisa tunggu aku pulang dari masjid.” Suami saya begitu kesal tanpa tahu yang
terjadi. Diapun hanya diam di tengah Mahira menangis.
Saya
agak mengencangkan bacaan surah dan berusaha memeluk Mahira lagi. Mahira
mungkin sudah begitu lelah karena menjerit dan menangis cukup lama hingga ia
meminta mimik lagi dan saya memberikannya. Ia pun kembali tertidur dengan badan
yang masih begitu dingin.
Hati
saya masih agak sedih, kenapa suami saya menyalahkan saya tanpa
mengkonfirmasinya. Ia seperti langsung menuduh saya ditengah Ananda menangis
begitu keras dan punggung ini belum kembali nyaman untuk sekedar duduk.
Suasana
seketika terasa dingin, hanya terdengar suara Farid membacakan surah An-Naba
dari Smart Hafid milik Mahira. Saya berusaha
memahami kondisi suami dan mengabaikan punggung serta perasaan yang saya
rasakan.
Berusaha
untuk memanjangkan nalar dan menekan ego yang saat itu cukup luar biasa. Batin
saya masih tidak terima dengan mudahnya suami menuduh saya, namun disisi lain
saya memahami, itu bentuk respect dari kondisi Mahira yang sulit ia kendalikan.
Jadi semacam pelampiasan emosi sesaat yang harus saya maklumi.
Dengan kaidah Choose the
right time, Kaidah 7-38-55 dan Kaidah: I'm responsible for my communication
results. Saya
coba melakukan komunikasi produktif dengan suami, agar suasana dingin ini
segera kembali hangat dan pagi kami berlangsung damai.
Saat
Mahira sudah bisa saya tinggal dan ia sedang santai bersama buku. Saya coba
dekati dan berbicara. Menjelaskan dengn intonasi dan Bahasa tubuh yang
meyakinkan ia terkait Mahira. Saya membahas sedikit mengenai apa itu tantrum
hingga saya menyampaikan sakit punggung saya.
Kaidah: I'm responsible for my communication results.
Hasil dari komunikasi adalah tanggung jawab komunikator, si pemberi pesan. Jika
si penerima pesan tidak paham atau salah memahami, jangan salahkan ia, cari
cara yang lain dan gunakan bahasa yang dipahaminya.
Dan
sebagai bentuk tanggung jawab saya untuk kembali menjelaskan dengan diksi yang
berbeda, agar pesan yang sampaikan dapat dipahami oleh suami. Alhamdulillah komprod
ini berhasil.
“Aku
khawatir sayang dan bingung juga Mahira kayak kesurupan gitu. Aku bicara
sekenanya. Maafkan aku ya? Kamu mau aku pijitin? Aku pasangin koyo ya?” Ucap
Suami berusaha menuju hangat lagi.
“Aku
mau dianter beli Es Selendang Mayang ya nanti siang?”tawar saya mencairkan
suasana sambil tak lepas menatap matanya.
Saat siang tiba dan panas membara….
“Yuuuuk
sayang, beli Es Selendang Mayang, kamu siap-siap ya” Ucap suami saya setelah
selesai makan siang.
Belum kenyang
atau karena Jakarta sedang begitu panas,hingga es selalu menjadi minuman yang
kami tuju.
Es selendang mayang adalah salah satu
minuman tradisional Indonesia asal Jakarta. Minuman ini sekarang jarang
ditemukan karena dikalangan masyarakat Betawi sendiri minuman ini dianggap
minuman kuno. ... Beberapa penjual di kota tua membuat minuman ini dengan bahan
dasar tepung hunkwe dengan alasan lebih mudah dan efisien.
Berhasil
mengendalikan emosi anak dengan mengendalikan emosi dalam diri sendiri dulu,
hingga disaat ego juga akan menjebol pertahanan, saya harus mengusahakan
keadaantadi pagi yang masih belum bisa ya lupakan. Saya sendiri ingin berteriak karena tertekan sekali melihat anak
demikian, namun saya tetap melangsungkan suara yang keluar dari mulut saya
dengan suara yang lembut dan ramah. Saya akui itu susah!
Namun
Es Selendang Mayang ini mampu membekukan semua rasa sedih yang telah
berlangsung. Saya bantu Mahira memotong kecil-kecil hankue di mangkoknya.
“Apa
Mahira bisa memotongnya? Sini Ibu bantu ya supaya Mahira mudah menyendok” Ucap
saya sambil memperhatikan gerak matanya yang menunjukan tidak sabar.
Dingin
itu lenyaaaap. Apalagi saat Mahira menunjukan empati yang sama pada saya.
“Buk!
Aaaaak! Buk! Aaaaaaaeemmm ni Es buk!” ucapnya seraya menyuapi saya dengan
hankue miliknya. (Ibu aaaa ya, ibu makan ini Esnya)
#hari08
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
#institutibuprofesional
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#
Day11
No comments:
Post a Comment