Pagi ini kelurahan
Mangunjati begitu mendung, langit penuh dengan awan jenuh yang siap tumpah
kapan saja Tuhan berkehendak. Aku mengurungkan kegiatan mencuci dan memilih untuk membaca buku hadiah dari sabahatku
yang berjudul “Open your heart follow your prophet” buku bersampul kuning itu
membuat retinaku cukup cepat menemukannya diantara tumpukan buku lain.
Buku dengan pesan
mendalam namun ditulis dengan bahasa yang ringan. Pesan-pesan Rasulullah yang terkemas
dalam ramuan aksara karya bang Arif Rahman, begitu asik dibaca. Baru mengahabiskan
beberapa halaman, seketika fokusku buyar. Telingaku diperdengarkan dengan
tangis Sari. Sari adalah anak tetanggaku yang berusia 11 tahun, rumah kami berhadapan.
Jarak menuju rumahnya hanya dipisahkan oleh jalan kecil yang hanya muat untuk
satu motor saja. Jadi tidak salah jika tangisan itu terdengar jelas hingga ke
rumahku.
Seperti biasa tangisnya
memecah pagi yang ingin aku nikmati dengan damai sebelum aku mendapat panggilan
kerja. Aku harus bertahan dengan suguhan tangisan Sari yang cukup menghebohkan
tetangga sekitar. Saat aku mudik, biasanya hanya sebentar, tidak ada waktu
untuk mengetahui banyak mengenai tetangga baruku itu. Setelah aku lulus kuliah
dan cukup lama berada di rumah, lambat laun aku jadi tahu.
Aku menutup buku dan
menghentikan kegiatan membacaku. Berjalan ke arah dapur, mendapati Ibuku sedang
mengiris tempe untuk persiapan sarapan kami. Suara tangis Sari tidak begitu
terdengar jika dari dapur.
“Bu, rumah kontrakan pak
Udin sudah ganti orang lagi ya?” Tanyaku pada Ibu yang masih sibuk mengiris
tempe.
“Iya, belum lama. Sejak kamu
mulai kuliah magang itu loh Nan.” Jawab Ibu dengan santai.
“Emang kenapa bu? Sampai nangisnya
kenceng banget?” Tanyaku penasaran
“Ya..kamu lihat aja
sendiri.” Jawab Ibuku masih dengan santai.
Ibunya kerap memarahinya,
memakinya secara verbal dibalik dinding yang mereka sebut rumah. Rumah yang
seharusnya menjadi tempat ternyaman Sari namun rumah itupula yang membuat Sari
sering rebas dengan air mata.
Perlahan Aku berjalan ke
arah jendela ruang tamu untuk melihat keadaan depan rumahku. Sari terlihat
dipukul oleh Ibunya, suara agak gaduh terdengar dengan baik sampai ke
telingaku. Aku mengernyitkan alis, menghela nafasku dengan keinginan memukul
balik sang Ibu. Agar ia juga tahu, bahwa itu sangat sakit.
Dalam hati aku bergumam,
apa kesalahan Sari hingga membuat Ibunya mengomel dengan suara yang keras
disertai pukulan yang tentu sangat sakit untuk anak seusianya. Ibunya keluar
dari pintu yang memang sudah terbuka cukup lebar. Dipakainya jas hujan bewarna
biru, masker biru dan helmet bewarna biru yang serasi. Sepertinya ia akan
melakukan perjalanan dengan motornya.
Braaaaakkkkk!!!! Dari dalam
Sari membanting pintu.
“Sariiiiiiiiiiiiii ….”
Disusul suara Ibunya melengking dari luar.
Pemandangan yang sebetulnya tidak ingin
aku tahu, namun keinginanku begitu besar melihat Sari kerap sekali berjalan di
depan rumah. Bolak-balik hampir tiga jam, hanya untuk sekadar melakukan
gerakan-gerakan aneh menurut imajinasinya. Terkadang berhenti di depan selokan
rumahku dan melakukan gerakan seperti menjemur pakaian. Terkadang ia berdendang
atau berbicara sendiri. Saat anak-anak lain lewat ia segera lari dan masuk ke
dalam rumahnya.
Aku jarang melihatnya berangkat sekolah. Namun
sekitar jam satu siang, aku sering melihat kakeknya dengan menggunakan motor
matic bewarna merah mengantarnya yang masih berseragam hingga depan rumah. Kemudian
sekitar pukul dua kakeknya datang.
“Sari … makan dulu. Sari… buka pintunya.”
Ucap kakeknya seraya mengetuk pintu rumahnya dari luar.
Bulan lalu saat aku baru saja selesai
wisuda, Ibu memasak makanan dan membagikannya untuk tetangga. Sebagai wujud
syukur Ibu ingin berbagi, aku beranikan langkah untuk ke rumah Sari. Mumpung ia
masih di depan dan sedang kambuh dengan kegiatannya yang tidak jelas itu.
“Heiiii! Ini buat kamu.” Ucapku.
Mata kami bertemu, dia langsung
membalikkan arah dan menuju rumah.
“Tunggu! Berhenti. Siapa nama kamu? Kita kenalan
dulu.” Aku menimpalinya dengan banyak tanya.
Dia menghentikan langkahnya, menatapku
dengan wajah sendu, begitu sopan.
“Nama saya Catherine. Ia menyebutkan huruf
apa saja untuk namanya” Jawabnya dengan begitu meyakinkan.
“Oh Katrin?” jelasku.
“Ya boleh, dipanggil itu aja” Jawabnya
lagi.
“Kamu suka kucing? Siapa namanya?”
“Kucing aku namanya Cimol.” Jawabnya
dengan pandangan mata yang sudah berbeda.
“Aku boleh kasih ikan?” tanyaku lagi
“Dia makannya Whiskas” Jawab Sari
“Ini makanan buat kamu dari Ibuku”
Timpalku lagi.
“Terimakasih”
Selang beberapa hari setelah itu, Ibuku sempat
ditegur oleh Ibunya. Ia berujar jika ia dapat memberi makan anaknya dengan
baik. Tidak perlu berbelas kasih dengan memberikan makanan kepada Sari. Ibuku
coba menjelaskan namun Ibunya Sari tetap tersinggung atas sikap kami. Dalam
hati kami hanya banyak beristigfar.
Hujan turun begitu lebat, aku hampir tidak
bisa mendengar apapun. Sari mungkin tertidur nyenyak di rumahnya. Namun aku
memikirkannya.
“Bu..kenapa Sari mengaku namanya Catherine
ya?” Tanyaku pada Ibu yang sedang menulis pengeluaran hari ini di buku
belanjanya yang bersampul batik.
“Nggak tahu juga, mungkin nama panjangnya
Sarina Katrin” Ibu menimpalinya dengan candaan.
Aku sedikit terkekeh, namun jika benar itu
namanya. Akan menjadi sangat rancu untuk di dengar. Serancu dirinya yang kerap
melakukan gerakan-gerakan aneh. Pikirku.
Tepat jam sepuluh malam, Ibunya baru
pulang kerja. Motornya selalu terparkir dengan rapi. Helmet dan sepatu juga
diletakkan sesuai tempatnya. Saat tiba yang pertama disapanya adalah Cimol. Selalu
khas dengan intonasi yang aku hafal. Keluarganya memang tidak begitu dekat
dengan tetangga lain. Mungkin karena aktivitasnya terlalu tinggi dan ia sibuk
berkerja, sehingga tidak ada waktu lagi untuk sekedar berkumpul jika ada acara arisan
dll.
Namun
aku masih dalam pertanyaan besar, kenapa Sari mengaku Catherine dan kenapa
Ibunya kerap memarahi dan memukulnya?
***
Sebelum aku dilamar orang, aku mau melamar
pekerjaan dulu dibeberapa perusahaan yang membuka loker sesuai keilmuanku. Untuk
mengisi waktu, aku diminta Ibu-ibu sekitar mengajar les anak-anaknya, hari ini
adalah hari kedua aku mengajar. Beberapa siswaku banyak yang satu sekolah dengan
Sari. Ada Rania, ada Didit, Raka dan juga Fajar. Dari situ aku mendapat banyak
info mengenai Sari. Sari tidak punya teman, ia kerap dibully di sekolah.
“Habisnya dia aneh sih.” Celetuk Rania
“Dia itu kadang ngomong sendiri.” Celetuk
Raka.
“Apaan dia juga jarang banget masuk
sekolah. Nggak pernah ikut kelas tambahan juga” Kata Didit.
“ Kata Mamaku, aku nggak boleh temenan sama
Sari dan aku juga nggak mau sih” Timpal rania lagi.
“Nama Panjang Sari siapa, Ran?” Tanyaku
pada Rania yang merupakan teman sekelasnya.
“Cantika Sari, tapi dia cuma mau di panggil
Catherine. Karena dia nggak suka nama pemberian orang tuanya. Jadi itu nama
bebikinan dia gitu deh kaa” Jelas Rania.
“Sejak kapan Sari begitu?”
“Dulu sih nggak gitu ya Jar? Dia mah asik-asik
aja ya diajak main. Tapi sejak sering dimarahin Mamanya. Dia itu jadi aneh kaa.
Ya begitu itu suka nggak jelas.” Terang Rania.
Kami melakukan percakapan ini setelah usai
belajar, aku berusaha mengumpulkan informasi.
“Mamanya kenapa?”
“Mamanya galak banget, asli kaa bikin
serem.” Jelas Fajar.
“Aku juga takut sama Mamanya, dulu kalau
main kita selalu di marahin ya Ran?” Fajar membuka episode baru mengenai Ibunya
Sari.
“Galak gimana?” Tanyaku.
“Ya Sari pernah cerita, misal dia numpahin
minuman sedikit aja. Nanti diomelin bisa juga sampai dipukul.” Rania kembali
memberi informasi.
Aku menelan ludah, jantungku berdegup agak
lebih cepat. Iyakah benar yang diungkapkan mereka atau aku hanya larut dalam
cerita-cerita fiktif yang mereka buat untukku? Ingin sekali aku tanyakan langsung
pada Sari. Namun melihat sikap Ibunya yang kala itu sangat acuh ketika aku
sapa, aku berulang kali membatalkan inginku. Takut semuanya terasa lebih runyam
untuk Sari.
***
Hari itu Cimol melahirkan, ia melahirkan
di rak sepatu depan teras rumahku. Sari mencari-cari Cimol, kucingnya yang
bewarna telon itu.
“Di sini!” Teriakku.
“Halooo Catherine…” Sapaku dengan ringan.
“Maaf ya.. Cimol rese, suka nggak sopan.” Celetuknya
dengan suara yang parau khas orang bangun tidur.
“Nggak apa-apa, namanya juga kucing kan dia
nggak tahu sopan” Jawabku masih santai.
“Catherine itu nama pena yang kamu bikin
ya?”
“Iya, aku mau ganti nama itu aja nanti
kalau sudah besar” Jawabnya sambil mengelus kucingnya.
Celananya terkena darah kucing, ia seketika
panik.
“Duuuh! Gimana ini ya?” Wajahnya begitu
panik.
“Kenapa emangnya?”
“Mama saya agak galak, takut nanti
ditanyain kalau nggak bisa hilang.” Ucapnya kemudian.
“Biar aku bantu! Kamu tunggu sini.”
Perintahku.
Aku mencoba menggunakan waktu ini untuk
bertanya banyak kepada Sari, dari segala hal yang ia jawab ada kalanya ia
menjawab dengan rasional dan adakalanya ia menjawab dengan jawaban yang tidak
masuk akal. Imajinasinya berjalan ditengah pertanyaan jelas yang aku ajukan
kepadanya. Mungkin ia begitu tertekan dengan sikap Mamanya sehingga ia demikian
anehnya.
Hanya doa-doa yang bisa aku panjatkan
ditengah drama yang tersaji disetiap pagi. Aku berharap, Ibunya dapat segera
menyadari beberapa sikapnya yang salah dan memberikan sikap yang layak untuk Sari
dapatkan. Di sisi lain aku belajar, bagaimana kelak jika amanah itu dititipkan
padaku. Aku bersyukur atas cara Tuhan memberiku materi belajar sebelum kelak aku
dilamar.
No comments:
Post a Comment