September 30, 2018

TERBUNGKUS CANDALA




       Pagi ini kelurahan Mangunjati begitu mendung, langit penuh dengan awan jenuh yang siap tumpah kapan saja Tuhan berkehendak. Aku mengurungkan kegiatan mencuci dan  memilih untuk membaca buku hadiah dari sabahatku yang berjudul “Open your heart follow your prophet” buku bersampul kuning itu membuat retinaku cukup cepat menemukannya diantara tumpukan buku lain.

Buku dengan pesan mendalam namun ditulis dengan bahasa yang ringan. Pesan-pesan Rasulullah yang terkemas dalam ramuan aksara karya bang Arif Rahman, begitu asik dibaca. Baru mengahabiskan beberapa halaman, seketika fokusku buyar. Telingaku diperdengarkan dengan tangis Sari. Sari adalah anak tetanggaku yang berusia 11 tahun, rumah kami berhadapan. Jarak menuju rumahnya hanya dipisahkan oleh jalan kecil yang hanya muat untuk satu motor saja. Jadi tidak salah jika tangisan itu terdengar jelas hingga ke rumahku.

Seperti biasa tangisnya memecah pagi yang ingin aku nikmati dengan damai sebelum aku mendapat panggilan kerja. Aku harus bertahan dengan suguhan tangisan Sari yang cukup menghebohkan tetangga sekitar. Saat aku mudik, biasanya hanya sebentar, tidak ada waktu untuk mengetahui banyak mengenai tetangga baruku itu. Setelah aku lulus kuliah dan cukup lama berada di rumah, lambat laun aku jadi tahu.

Aku menutup buku dan menghentikan kegiatan membacaku. Berjalan ke arah dapur, mendapati Ibuku sedang mengiris tempe untuk persiapan sarapan kami. Suara tangis Sari tidak begitu terdengar jika dari dapur.

“Bu, rumah kontrakan pak Udin sudah ganti orang lagi ya?” Tanyaku pada Ibu yang masih sibuk mengiris tempe.

“Iya, belum lama. Sejak kamu mulai kuliah magang itu loh Nan.” Jawab Ibu dengan santai.

“Emang kenapa bu? Sampai nangisnya kenceng banget?” Tanyaku penasaran

“Ya..kamu lihat aja sendiri.” Jawab Ibuku masih dengan santai.

Ibunya kerap memarahinya, memakinya secara verbal dibalik dinding yang mereka sebut rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman Sari namun rumah itupula yang membuat Sari sering rebas dengan air mata.

Perlahan Aku berjalan ke arah jendela ruang tamu untuk melihat keadaan depan rumahku. Sari terlihat dipukul oleh Ibunya, suara agak gaduh terdengar dengan baik sampai ke telingaku. Aku mengernyitkan alis, menghela nafasku dengan keinginan memukul balik sang Ibu. Agar ia juga tahu, bahwa itu sangat sakit.

Dalam hati aku bergumam, apa kesalahan Sari hingga membuat Ibunya mengomel dengan suara yang keras disertai pukulan yang tentu sangat sakit untuk anak seusianya. Ibunya keluar dari pintu yang memang sudah terbuka cukup lebar. Dipakainya jas hujan bewarna biru, masker biru dan helmet bewarna biru yang serasi. Sepertinya ia akan melakukan perjalanan dengan motornya.

Braaaaakkkkk!!!! Dari dalam Sari membanting pintu.

“Sariiiiiiiiiiiiii ….” Disusul suara Ibunya melengking dari luar.

Pemandangan yang sebetulnya tidak ingin aku tahu, namun keinginanku begitu besar melihat Sari kerap sekali berjalan di depan rumah. Bolak-balik hampir tiga jam, hanya untuk sekadar melakukan gerakan-gerakan aneh menurut imajinasinya. Terkadang berhenti di depan selokan rumahku dan melakukan gerakan seperti menjemur pakaian. Terkadang ia berdendang atau berbicara sendiri. Saat anak-anak lain lewat ia segera lari dan masuk ke dalam rumahnya.

Aku jarang melihatnya berangkat sekolah. Namun sekitar jam satu siang, aku sering melihat kakeknya dengan menggunakan motor matic bewarna merah mengantarnya yang masih berseragam hingga depan rumah. Kemudian sekitar pukul dua kakeknya datang.

“Sari … makan dulu. Sari… buka pintunya.” Ucap kakeknya seraya mengetuk pintu rumahnya dari luar.

Bulan lalu saat aku baru saja selesai wisuda, Ibu memasak makanan dan membagikannya untuk tetangga. Sebagai wujud syukur Ibu ingin berbagi, aku beranikan langkah untuk ke rumah Sari. Mumpung ia masih di depan dan sedang kambuh dengan kegiatannya yang tidak jelas itu.

“Heiiii! Ini buat kamu.” Ucapku.

Mata kami bertemu, dia langsung membalikkan arah dan menuju rumah.

“Tunggu! Berhenti. Siapa nama kamu? Kita kenalan dulu.” Aku menimpalinya dengan banyak tanya.

Dia menghentikan langkahnya, menatapku dengan wajah sendu, begitu sopan.

“Nama saya Catherine. Ia menyebutkan huruf apa saja untuk namanya” Jawabnya dengan begitu meyakinkan.

“Oh Katrin?” jelasku.

“Ya boleh, dipanggil itu aja” Jawabnya lagi.

“Kamu suka kucing? Siapa namanya?”

“Kucing aku namanya Cimol.” Jawabnya dengan pandangan mata yang sudah berbeda.

“Aku boleh kasih ikan?” tanyaku lagi

“Dia makannya Whiskas” Jawab Sari

“Ini makanan buat kamu dari Ibuku” Timpalku lagi.

“Terimakasih”

Selang beberapa hari setelah itu, Ibuku sempat ditegur oleh Ibunya. Ia berujar jika ia dapat memberi makan anaknya dengan baik. Tidak perlu berbelas kasih dengan memberikan makanan kepada Sari. Ibuku coba menjelaskan namun Ibunya Sari tetap tersinggung atas sikap kami. Dalam hati kami hanya banyak beristigfar.

Hujan turun begitu lebat, aku hampir tidak bisa mendengar apapun. Sari mungkin tertidur nyenyak di rumahnya. Namun aku memikirkannya.

“Bu..kenapa Sari mengaku namanya Catherine ya?” Tanyaku pada Ibu yang sedang menulis pengeluaran hari ini di buku belanjanya yang bersampul batik.

“Nggak tahu juga, mungkin nama panjangnya Sarina Katrin” Ibu menimpalinya dengan candaan.

Aku sedikit terkekeh, namun jika benar itu namanya. Akan menjadi sangat rancu untuk di dengar. Serancu dirinya yang kerap melakukan gerakan-gerakan aneh. Pikirku.

Tepat jam sepuluh malam, Ibunya baru pulang kerja. Motornya selalu terparkir dengan rapi. Helmet dan sepatu juga diletakkan sesuai tempatnya. Saat tiba yang pertama disapanya adalah Cimol. Selalu khas dengan intonasi yang aku hafal. Keluarganya memang tidak begitu dekat dengan tetangga lain. Mungkin karena aktivitasnya terlalu tinggi dan ia sibuk berkerja, sehingga tidak ada waktu lagi untuk sekedar berkumpul jika ada acara arisan dll.

Namun aku masih dalam pertanyaan besar, kenapa Sari mengaku Catherine dan kenapa Ibunya kerap memarahi dan memukulnya?
***
Sebelum aku dilamar orang, aku mau melamar pekerjaan dulu dibeberapa perusahaan yang membuka loker sesuai keilmuanku. Untuk mengisi waktu, aku diminta Ibu-ibu sekitar mengajar les anak-anaknya, hari ini adalah hari kedua aku mengajar. Beberapa siswaku banyak yang satu sekolah dengan Sari. Ada Rania, ada Didit, Raka dan juga Fajar. Dari situ aku mendapat banyak info mengenai Sari. Sari tidak punya teman, ia kerap dibully di sekolah.

“Habisnya dia aneh sih.” Celetuk Rania

“Dia itu kadang ngomong sendiri.” Celetuk Raka.

“Apaan dia juga jarang banget masuk sekolah. Nggak pernah ikut kelas tambahan juga” Kata Didit.

“ Kata Mamaku, aku nggak boleh temenan sama Sari dan aku juga nggak mau sih” Timpal rania lagi.

“Nama Panjang Sari siapa, Ran?” Tanyaku pada Rania yang merupakan teman sekelasnya.

“Cantika Sari, tapi dia cuma mau di panggil Catherine. Karena dia nggak suka nama pemberian orang tuanya. Jadi itu nama bebikinan dia gitu deh kaa” Jelas Rania.

“Sejak kapan Sari begitu?”

“Dulu sih nggak gitu ya Jar? Dia mah asik-asik aja ya diajak main. Tapi sejak sering dimarahin Mamanya. Dia itu jadi aneh kaa. Ya begitu itu suka nggak jelas.” Terang Rania.

Kami melakukan percakapan ini setelah usai belajar, aku berusaha mengumpulkan informasi.

“Mamanya kenapa?”

“Mamanya galak banget, asli kaa bikin serem.” Jelas Fajar.

“Aku juga takut sama Mamanya, dulu kalau main kita selalu di marahin ya Ran?” Fajar membuka episode baru mengenai Ibunya Sari.

“Galak gimana?” Tanyaku.

“Ya Sari pernah cerita, misal dia numpahin minuman sedikit aja. Nanti diomelin bisa juga sampai dipukul.” Rania kembali memberi informasi.

Aku menelan ludah, jantungku berdegup agak lebih cepat. Iyakah benar yang diungkapkan mereka atau aku hanya larut dalam cerita-cerita fiktif yang mereka buat untukku? Ingin sekali aku tanyakan langsung pada Sari. Namun melihat sikap Ibunya yang kala itu sangat acuh ketika aku sapa, aku berulang kali membatalkan inginku. Takut semuanya terasa lebih runyam untuk Sari.
***
Hari itu Cimol melahirkan, ia melahirkan di rak sepatu depan teras rumahku. Sari mencari-cari Cimol, kucingnya yang bewarna telon itu.

“Di sini!” Teriakku.

“Halooo Catherine…” Sapaku dengan ringan.

“Maaf ya.. Cimol rese, suka nggak sopan.” Celetuknya dengan suara yang parau khas orang bangun tidur.

“Nggak apa-apa, namanya juga kucing kan dia nggak tahu sopan” Jawabku masih santai.

“Catherine itu nama pena yang kamu bikin ya?”

“Iya, aku mau ganti nama itu aja nanti kalau sudah besar” Jawabnya sambil mengelus kucingnya.

Celananya terkena darah kucing, ia seketika panik.

“Duuuh! Gimana ini ya?” Wajahnya begitu panik.

“Kenapa emangnya?”

“Mama saya agak galak, takut nanti ditanyain kalau nggak bisa hilang.” Ucapnya kemudian.

“Biar aku bantu! Kamu tunggu sini.” Perintahku.

Aku mencoba menggunakan waktu ini untuk bertanya banyak kepada Sari, dari segala hal yang ia jawab ada kalanya ia menjawab dengan rasional dan adakalanya ia menjawab dengan jawaban yang tidak masuk akal. Imajinasinya berjalan ditengah pertanyaan jelas yang aku ajukan kepadanya. Mungkin ia begitu tertekan dengan sikap Mamanya sehingga ia demikian anehnya.

Hanya doa-doa yang bisa aku panjatkan ditengah drama yang tersaji disetiap pagi. Aku berharap, Ibunya dapat segera menyadari beberapa sikapnya yang salah dan memberikan sikap yang layak untuk Sari dapatkan. Di sisi lain aku belajar, bagaimana kelak jika amanah itu dititipkan padaku. Aku bersyukur atas cara Tuhan memberiku materi belajar sebelum kelak aku dilamar.

 “Mencintai anak tidaklah cukup, yang terpenting adalah anak-anak menyadari bahwa mereka dicintai orangtuanya.” – St. John Bosco



#TantanganODOP3
#onedayonepost
#fiksi
#odopbatch6




No comments:

Post a Comment